Fatah Syukur

Ketika menjadi nara sumber pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-17 di Tangerang Tahun 2017, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A., mantan Wakil Menteri Agama RI, sekarang menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, mengatakan iklim akademik di PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) sekarang ini cenderung ke arah sekuler. Paradigma keilmuan yang dibangun selalu didasarkan pada kebenaran raionalistik dan positivistik. Padahal ukuran kebenaran bukan hanya rasionalitas. Dalam Islam, Nabi juga menerima wahyu melalui mimpi. Bahkan mimpi juga bisa menjadi dasar kebenaran ibadah Qurban (ingat kisah Ibrahim dan Ismail), belajar juga bisa melalui orang-orang tertentu yang sudah tidak ada di dunia ini, melalui media meditasi. Nabi Musa juga pernah belajar dengan Nabi Khodzir yang secara nalar tidak rasional.

Apa yang dikatakan oleh Prof Nazaruddin pada dasarnya bukan mengelak atau bahkan membantah paradigma positivistik, akan tetapi kekayaan khazanah pengetahuan Islam diluar paradigma positivistik juga harus dihargai dan dikembangkan.

Apa hubungannya paradigma spiritualitas dengan mahasiswa? Mahasiswa harus cerdas secara emosional, intelektual dan spiritual. Mahasiswa merupakan tonggak dari pergerakan suatu bangsa. Mahasiswa acapkali disebut-sebut sebagai iron stock, agent of change (generasi perubahan), dan Social Control (pengontrol kondisi sosial-masyarakat).

Kecerdasan intelektual (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima,menyimpan,dan mengolah informasi menjadi fakta. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti & menerima makna pada apa yang dihadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat. Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain,kemampuan memotivasi diri sendiri, serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri & orang lain.

Seorang mahasiswa yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang tinggi mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang diperoleh sehingga ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang (EQ) akan memberikan sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi parasimpatis. Jika seseorang sudah tenang karena aliran darah sudah teratur, maka seseorang akan dapat berfikir secara optimal (IQ) sehingga lebih tepat mengambil keputusan. Manajemen diri untuk mengolah hati tidak cukup dengan IQ dan EQ saja , tetapi SQ juga sangat berperan dalam diri manusia sebagai pembimbing kecerdasan lain.

Orang sukses tidak hanya cukup dengan kecerdasan intelektual tetapi juga perlu kecerdasan emosional agar merasa gembira,dapat bekerja dengan orang  lain,punya motivasi kerja, dan bertanggung jawab. Selain itu kecerdasan spiritual juga diperlukan agar merasa beriman dan bertaqwa, berbakti, serta mampu mengabdi secara tulus, luhur, dan tanpa pamrih.

 

***

 

Otak mahasiswa (saat belajar di kampus) kebanyakan hanya diisi kognitif. Sedangkan kecerdasan spiritual dan emosionalnya kurang. Seharusnya mahasiswa  memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan spiritual. Ketiga keceradasan itu harus seimbang. Ibarat membangun gedung, struktur bangunan dan konstruksinya harus seimbang. Jika perguruan tinggi atau secara spesifik dosen hanya ‘membangun’ mahasiswa dari satu atau dua kecerdasan, maka akan miring. Agar otak mahasiswa tak ‘miring’, kurikulum di perguruan tinggi harus diubah. Otak tak hanya diisi kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik.

Masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki religiusitas yang tinggi. Maka, seharusnya kecerdasan spiritual mendominasi mahasiswa. Mahasiswa tak boleh menjadi menara gading (ivory tower). Mahasiswa harus menunjukkan impelementasi tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Implementasi tri dharma perguruan tinggi bisa menjadi resolusi konflik antar mahasiswa dan penyejuk iklim kampus yang kondusif. Research (penelitian) ditunggu masyarakat. Bisa menjadi semacam early warning system (sistem peringatan dini) penyebab keterpurukan bangsa ini. Penelitian ibarat diagnosa penyakit oleh dokter. Hasil diagnosa bisa mengetahui jenis penyakit dan obat yang dibutuhkan.

***

Penelitian  yang dilakukan Neuropsikolog Michael Pessinger di awal tahun 1990-an, dan  Neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya  di Universitas  California, telah menemukan keberadaan “titik Tuhan” (God spot) dalam locus temporal pada otak manusia.  Titik Tuhan itu merupakan pusat spiritual setiap insan. Keberadaan “Titik Tuhan”  menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan  “pertanyaan-pertanyaan pokok”, untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.

“Kehadiran” Tuhan di otak  merupakan suatu hal yang sangat menarik. Bukan saja  karena otak adalah CPU (Central Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi otak merupakan  pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah kehidupan itu sendiri. Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain:  (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional, dan  (3) fungsi spiritual.

Terkait dengan fungsi yang ketiga, yaitu  mencakup hal-hal yang bersifat supernatural dan religius. Fungsi ini hendak menegaskan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan.  Keberadaan Tuhan ditampakkan  dalam  kesempurnaan jalinan dan jaringan syaraf  manusia.

Kecerdasan Spiritual  atau Spiritual Quotient (SQ), yang secara biologis dibuktikan dengan keberadaan  “titik Tuhan”  dalam struktur otak manusia, adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal transenden, hal-hal yang mengatasi waktu dan ruang. Ia melampaui kekinian dan pengalaman manusia. Ia adalah bagian terdalam dan terpenting dari manusia. Ia menjadikan manusia cerdas  secara  spiritual dalam beragama. Ia juga  membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ  mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dalam agama. Seseorang yang memiliki SQ yang tinggi mampu menjalankan  ajaran agamanya secara optimal dan maksimal, namun tidak secara picik, eksklusif, fanatik, atau prasangka.

Optimalisasi otak spiritual juga dapat membuat seseorang cerdas secara utuh. Paling tidak, terdapat tiga komponen hidup yang lahir dari optimalisasi itu: (1) kejernihan berpikir secara rasional, (2) kecakapan emosi, dan (3) ketenangan hidup. Ketenangan hidup merupakan hasil akhir yang paling tinggi nilainya dari otak spiritual. Sebab kecerdasan rasional dan kecakapan emosi tidak akan berarti apa-apa bila seseorang tidak memiliki ketenangan hidup. Melatih otak terus menerus dan membiasakannya untuk merenung akan membuat hati tenang dan bercahaya.  Kecemasan dan ketegangan dapat dihilangkan dengan membiarkan otak menemukan dimensi spiritual yang dimilikinya.

Kegiatan berikut dapat mengoptimalkan otak spitual: Pertama, melihat secara utuh. Mana yang disebut mata batin? Jika mata lahir memiliki jalur syaraf dan pusat penglihatan di otak, apakah demikian  juga mata batin? Jawabannya, ya. Mata batin memiliki pusat di otak spiritual. Otak spiritual memadukan semua informasi yang diserap. Jika pohon yang dilihat, yang tampak adalah kepaduan dan kesatuan seluruh bagiannya.  Melihat dengan mata batin berarti melihat  secara utuh. Pengaktifan mata batin dan otak spiritual akan menghilangkan pikiran-pikiran fragmentaris. Lagi pula, banyak  aspek yang dapat ditangkap dengan mata batin.

Kedua, Melihat di balik penampilan objektif.  Melihat dengan mata batin juga berarti melihat sesuatu di balik penampakan fisik objektif merupakan fakta yang tak ditolak oleh mata batin. Jika seseorang melihat  pohon, yang tampak adalah pohon dan segala kehidupan yang ada “di balik”  pohon tersebut.

Ketiga, luangkan waktu jeda 10 menit setiap hari.  Tubuh fisik manusia sebenarnya tidak pernak beristirahat. Tidur tidak berarti organ tubuh maupun sel-sel tubuh beristirahat. Otak bahkan bekerja lebih aktif dalam mengonsolidasikan informasi justru ketika pemiliknya tidur. Sediakan waktu jeda dari kepenatan pekerjaan sehari-hari untuk men-charger  otak spiritual. Berdiam diri di dalam kamar, derdzikir, dan bertafakur secara mendalam akan memperkuat otak spiritual.

Dalam bukunya SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence, Zohar menggungkapkan cara lain untuk meningkatkan SQ agar meraih inner peace tersebut. Ada tujuh cara yang diajukannya, yaitu : 1) menyadari (aware) dimana posisi saya berada saat ini. 2) Memiliki perasaan kuat bahwa saya ingin berubah. 3) Merefleksikan apa yang menjadi tujuan dan motif-motif tersembunyi saya. 4) Temukan dan atasi rintangan yang menghadang. 5) Cari dan kenali kemungkinan-kemungkinan lain untuk bisa maju. 6) Meningkatkan diri pada tujuan yang telah ditetapkan. Dan 7) Tetaplah terbuka pada tujuan-tujuan lain yang mungkin ada.

Komputer punya inteligensi yang tinggi, beberapa jenis hewan punya kepekaan emosi yang tinggi. Akan tetapi hanya manusia saja yang memiliki Inteligensi Spiritual yang membuat kita bisa fleksibel, kreatif, memiliki rasa kasih sayang, dan merasa sebagai manusia seutuhnya. Inteligensi spiritual itu pula yang membuat kita menciptakan nilai-nilai dan norma-norma. Hal itu pula yang membuat kita selalu berusaha mencari jawaban dari arti kehidupan kita di dunia. ***

 

Prof. DR. H. Fatah Syukur, M.Ag. adalah Mantan Pemimpin Redaksi SKM Amanat Tahun 1990-1992, sekarang sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik FITK UIN Walisongo Semarang