
FITK UIN Walisongo Online, Magelang – Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang bekerja sama dengan Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama RI, menyelenggarakan seminar bertajuk “Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta dan Deep Learning di Madrasah.”
Kegiatan yang digelar di Magelang (10/10/2025) ini dihadiri oleh ratusan guru madrasah dari berbagai sekolah di Magelang, dengan menghadirkan tiga narasumber nasional: Prof. Dr. Fatah Syukur, M.Ag. (Dekan FITK UIN Walisongo Semarang), Prof. Dr. Rasimin, S.Pd.I., M.Pd. (Dekan FTIK UIN Salatiga), dan H. Wibowo Prasetyo (Anggota DPR RI).
Seminar ini menjadi forum strategis bagi para guru madrasah untuk memperdalam pemahaman tentang konsep pembelajaran yang menumbuhkan cinta, empati, dan kesadaran mendalam (deep learning) — nilai-nilai yang menjadi fondasi pendidikan Islam yang humanis dan transformatif.
Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Fatah Syukur, M.Ag., menegaskan bahwa kurikulum berbasis cinta bukan sekadar pendekatan emosional, melainkan paradigma pendidikan yang menempatkan kasih sayang, keikhlasan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan sebagai inti proses belajar-mengajar.
“Pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tapi transfer nilai dan perasaan. Guru yang mengajar dengan cinta akan menumbuhkan siswa yang belajar dengan jiwa,” ujar Prof. Fatah.
Sebagai dekan yang lama berkecimpung dalam pengembangan kurikulum dan pendidikan Islam, Prof. Fatah menekankan pentingnya membangun iklim belajar yang empatik dan reflektif. Menurutnya, deep learning hanya bisa tumbuh ketika siswa merasa diterima, dicintai, dan dihargai oleh gurunya.
“Ketika guru memahami siswa dengan hati, bukan sekadar angka rapor, maka pembelajaran berubah dari rutinitas menjadi ibadah. Itulah makna kurikulum berbasis cinta,” imbuhnya.
Ia juga mengajak para guru untuk menata kembali paradigma pendidikan madrasah agar tidak sekadar menyiapkan siswa cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional.
Sementara itu, Prof. Dr. Rasimin, S.Pd.I., M.Pd., Dekan FTIK UIN Salatiga, menyoroti bahwa deep learning — pembelajaran yang mendalam dan bermakna — hanya bisa diwujudkan melalui keterpaduan antara pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran spiritual.
“Deep learning dalam konteks madrasah bukan hanya berpikir kritis atau kreatif, tapi juga berpikir dengan kesadaran ruhani. Di sinilah perbedaan mendasar antara pendidikan Islam dan pendidikan sekuler,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa guru perlu memfasilitasi siswa agar tidak hanya mampu menjawab soal, tetapi juga memahami makna di balik ilmu. Dalam praktiknya, hal ini bisa diwujudkan melalui integrasi refleksi spiritual, kolaborasi sosial, dan penggunaan teknologi yang mendukung pembelajaran aktif.
“Pendidikan di madrasah harus menjadi ruang bagi anak untuk menemukan makna hidupnya, bukan hanya sekadar menyelesaikan kurikulum. Di situlah letak kedalaman pembelajaran,” tambah Prof. Rasimin.
Sebagai perwakilan legislatif, H. Wibowo Prasetyo, Anggota DPR RI, menyampaikan apresiasi terhadap kolaborasi antara UIN Walisongo dan Kemenag RI dalam mengembangkan paradigma pendidikan berbasis cinta. Menurutnya, kebijakan pendidikan nasional ke depan harus mengedepankan aspek kemanusiaan dan etika digital di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
“Negara ini tidak hanya butuh generasi cerdas, tapi generasi yang berkarakter, punya kasih, dan tangguh secara moral,” ujarnya.
Wibowo juga menekankan bahwa pembelajaran berbasis cinta dapat menjadi solusi terhadap krisis empati dan meningkatnya kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Kalau kurikulum didasari cinta, maka kekerasan verbal, perundungan, dan diskriminasi di sekolah bisa ditekan. Karena cinta melahirkan tanggung jawab dan penghormatan antar manusia,” tegasnya.
Ia mendorong agar hasil dari seminar ini tidak berhenti sebagai wacana, tetapi menjadi gerakan pendidikan nasional yang nyata dan berkelanjutan.
Seminar yang berlangsung interaktif ini menandai komitmen bersama antara pemerintah, akademisi, dan praktisi pendidikan dalam membangun madrasah yang lebih relevan dengan zaman — madrasah yang mengajarkan ilmu dengan hati dan membangun karakter dengan kasih.
FITK UIN Walisongo menegaskan bahwa pendidikan Islam harus menjadi pionir dalam mencetak generasi yang berpikir dalam, berjiwa lembut, dan berakhlak kuat.
“Kurikulum berbasis cinta bukan sekadar konsep, tapi gerakan moral untuk mengembalikan kemanusiaan dalam pendidikan,” tutup Prof. Fatah Syukur.