Pattani-Dinamika pendidikan Islam formal dan non formal di Pattani menjadi perhatian tim peneliti UIN Walisongo Semarang (20/08/2023). Peneliti dari FITK UIN Walisongo Semarang (Dr. H. Shodiq, M.Ag., Dr. H. Ikhrom, M.Ag., Sayyidatul Fadlilah, M.Pd., dan Evita Nur Apriliana) berkunjung ke Masjid Darut Taqwa Pattani, Pusat Taman Didikan Kanak-kanak (TADIKA), dan Pondok Tradisional di Pattani untuk mendapatkan penjelasan dari pihak terkait mengenai perkembangan pendidikan Islam secara formal dan non formal dalam masyarakat Pattani.
Nilai pendidikan yang menonjol dalam masyarakat Pattani adalah nilai pendidikan kerukunan, nilai pendidikan budaya, dan nilai pendidikan agama masyarakat Melayu (Islam). Salah satu upaya pendidikan nilai kerukunan Masyarakat Pattani salah satunya dapat diamati dalam Tradisi Asyura. Mereka mengajarkan gotong royong dengan melestarikan tradisi bubur Asyura. Di Pattani, tahun baru Islam diperingati dengan meriah dua malam dua hari, ada banyak acara mulai dari pembagian bubur Asyura, lomba ceramah, pidato, bershalawat bersama, nasyid, dan doa bersama. Tim peneliti FITK berkesempatan mengunjungi Masjid Darut Taqwa Pattani yang sedang menyelenggarakan peringatan tradisi Asyura tersebut. Tradisi memperingati tahun baru hijriyah di Pattani ini mirip dengan tradisi Indonesia, namun Bubur Asyura di Pattani berwarna hitam. Bubur Asyura dalam tradisi Muslim Thailand Selatan dimasak oleh masyarakat secara bersama-sama di lingkungan masjid. Bubur tersebut dibuat dari racikan berbagai bahan ubi, jagung,pisang dan santan yang dimasak selama enam jam. Tokoh masyarakat sekitar mengatakan tujuan pembuatan Bubur Asyura secara bersama-sama dapat menjadi sarana untuk memperkuat persatuan muslim.
“Jadi tujuan peringatan tahun baru Islam ini untuk membentuk perpaduan umat, dulu lagi semasa Covid-19, kegiatan macam ni tak boleh ada. Hijrah membentuk kesatuan membina perpaduan umat.” Ungkap salah seorang tokoh masyarakat desa. Tag line yang digunakan ‘Hijrah membentuk kesatuan membina perpaduan umat’ tersebut pun terlihat dari kaos seragam yang dipakai masyarakat.
Setelah mengamati tradisi bubur Asyura di Masjid Darut Taqwa, tim peneliti dipandu oleh alumni FITK mengunjungi Yayasan Pusat Penyelarasan Tadika Kawasan Selatan (PERKASA) yang dipimpin oleh Dr. Abdul Muhaimin Salaeh. Taman Didikan Kanak-kanak (TADIKA) adalah pendidikan Islam berbasis Masjid yang bertujuan untuk mengenalkan budaya dan adat istiadat Melayu (Islam). Setiap masjid di kawasan Thailand Selatan memiliki Tadika. Tadika di Kawasan Thailand mempunyai kesamaan konsep dengan Madrasah Diniyyah di Indonesia, namun dalam pelaksanaannya Tadika di Thailand lebih tersistem. Di Tadika ada enam jenjang dan setiap jenjang mendapatkan 9 mata Pelajaran yang meliputi: (1) al-Quran, (2) Hadits, (3) akidah, (4) Fiqih, (5) Akhlak, (6) Tarikh Islam, (7) Bahasa Arab, (8) Bahasa Melayu tulisan jawi, (9) Bahasa Melayu tulisan Rumi. Mereka menyebutnya dengan istilah materi fardlu ain yang harus dipelajari anak-anak Pattani. Kurikulum Tadika dikelola secara sistematis oleh PERKASA, sehingga memiliki muatan dan target pendidikan yang seragam. Abdul Muhaimin menegaskan bahwa Tadika menjadi garda pertahanan pendidikan Islam di Thailand Selatan.
“Di sini karena kita tak boleh mengaji dalam kurikulum kerajaan, maka kita terpaksa buka Tadika, awalnya tak dibolehkan, sekarang diberi kuasa. Kerajaan coba-coba menghalang, tapi tak boleh menghalang sebab kuatlah kita, kitapun ramai. Sekolah Tadika, mula-mula tak dapat bantuan, sekarang kerajaan beri bantuan, guru tadika diberi hati 3000 bath setiap bulan” Kata Abdul Muhaimin, Ketua badan Pendidikan dan pelajaran PERKASA.
Setiap guru di Tadika mengajar 35 orang siswa dan memperoleh hadiah dari Kerajaan Thailand sebesar 3000 Bath atau Rp. 1.292.509 per bulan. Hal ini menjadi bukti bahwa meskipun berada di bawah pemerintahan non-muslim, Muslim Melayu tetap mendapatkan haknya meskipun sedikit dan harus menyelenggarakan Pendidikan Islam di bawah pengawasan Kerajaan Thailand.
Selain melakukan riset di Tadika, tim peneliti juga melakukan riset dengan mengunjungi Pondok Nahdlotulislahiah Pattani yang diasuh oleh Babo (Kyai) Abdul Aziz. Pondok Nahdlotulislahiah Pattani merupakan sebuah pesantren tradisional di Pattani, sehingga tidak mengajarkan kurikulum akademik kerajaan. Pondok ini mengutamakan kajian turats di bidang Nahwu, Fiqh, Tafsir al-Qur’an, Hadits, Akhlak dan Aqidah. Pengasuh Pondok Nahdlotulislahiah Pattani menjelaskan bahwa perjuangan bidang Pendidikan Islam menjadi prioritas utama pada masa ini.
“Setiap anak mesti belajar minimal 10 tahun di sini. Masa dulu kita ni diawasi dan tak boleh bebas, tapi sekarang ni kita dibolehkan terima tamu. Kita kena terima ikhlas, sebab masa dulu banyak tuan guru yang kena tangkap, sehingga pondok ni tak boleh diteruskan. Maka masa ni lebih berjuanglah melalui pendidikan, untuk keberlangsungan pendidikan umat, sebab lagi besar manfaatnya.” Ujar Babo Abdul Aziz, Pengasuh Pondok Nahdlotulislahiah Pattani.
Ikhrom, anggota Tim Peneliti FITK, menarik kesimpulan bahwa Masyarakat di Pattani Muslim Melayu memilih berdamai dengan situasi mereka dan mengutamakan keberlangsungan pendidikan bagi generasi mendatang.
“Berdasarkan hasil pengamatan praktik Pendidikan dan interview dengan para informan di Pattani, Peace and harmony bisa dimulai dengan sikap kompromi dan ikhlas menerima, karena dengan cara seperti itu, hidup damai dapat tercipta sehingga lebih bermanfaat daripada memilih konflik. Kesadaran untuk berdamailah yang mampu mendukung perkembangan pendidikan Islam” Ikhrom menyimpulkan.
Tradisi Bubur Asyura, Tadika, dan Pondok Tradisional menjadi bukti perjuangan Muslim Pattani dalam mempertahankan ajaran Islam. Baik Pendidikan formal maupun non formal masyarakat Pattani memiliki kesamaan visi untuk memperkuat kerukunan dan mencegah pengaburan identitas mereka sebagai Muslim Melayu.